Nah di postingan kali ini
saya akan kembali pada saat pertama kali saya memutuskan membuat blog. To be
honest I really know nothing about blogging, I was thought that this stuff just
a kind of online diary. Tapi tenang gengsssssss, rite now I completely realize
that this stuff is beyond of just an online diary. I rather write something useful than doing
something cheesy like post a poem or love story, or even love letter. Lol. (Shit! I did those yuck stuff).
Okey, too much introduction,
peace up! Actually I just want to share you what’s on my mind about next level
tourism in Maumere, especially in terms of Ecotourism.
Here we go!!
Sebenarnya apa sih yang di
maksud dengan ekowisata (ecotourism)?
Ekowisata merupakan
Sub-komponen dari pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism), yaitu
jenis wisata yang bertanggung jawab atas alam serta memberi kontribusi terhadap
perkembangan ekonomi masyarakat sekitar, tentu peran serta campur tangan
masyarakat sekitar dalam membangun, mengelolah, serta menjaga kawasan wisata
ini juga akan memberikan dampak besar terhadap nilai jual pariwisata.
Sebut saja Costa Rica,
Norwegia, dan Brazil, merupakan beberapa Negara di dunia yang gencar
mempromosikan ekowisata sebagai daya Tarik utama untuk para turis.
Nah, ekowisata pada umumnya
banyak mengambil tempat di kawasan lindung dan konservasi, area terpencil
dengan keindahan alam yang eksepsional, area ekologi dan kawasan budaya.
Ditinjau dari poin diatas, jelas bahwa Kabupaten Sikka merupakan salah satu
daerah yang berpotensi dalam mengembangkan ekowisata/ecotourism, apalagi
sekarang ini semakin banyak isu-isu terkait iklim yang mengharuskan
manusia-manusia urban untuk melihat kembali apa yang telah terjadi pada mass
tourism (pencemaran lingkungan, atau bisa kita lihat apa yang telah terjadi di
TN. Komodo, yang yah dapat dikatakan “kebablasan mass tourism” akibat dari low
of carrying capacity control) serta kebutuhan akan merasakan suasana alam bebas
yang jauh dari hiruk pikuk kota.


Sadar atau tidak, Kabupaten
Sikka telah menyediakan apa yang kita butuhkan, wisata alternative!
Misalnya di bandingkan
wisatawan berjemur di pantai, mungkin bisa di alihkan ke pertunjukkan seni
budaya yang ada di desa watublapi, atau sekitarnya, menyaksikan ragam tarian
budaya Sikka dan menambah wawasan tentang proses pembuatan kain tenun,
mengetahui sejarah di balik usia renta si Gereja Tua Sikka, atau berkenalan
dengan kapal tersohor yang bernama Jong Dobo, atau mungkin juga menyusuri hutan
pohon manggrove sambil bercengkrama dengan alam sekitar. That’s pretty cool,
fellas!
Saya cukup yakin bahwa
sekarang ini, kita (let’s say urban people in Maumere) lebih sering
menghabiskan waktu berwisata mereka di pantai, berjemur sambil menikmati es
kelapa muda dengan sedotan plastik, some snacks, berfoto manja, dan terakhir
posting di media social. Syukur-syukur kalau kita tidak meninggalkan jejak
“sampah” di pantai yang yah ujung-ujungnya akan berpengaruh pada pencemaran
lingkungan. I wouldn’t say that it’s a bad habit (except of your plastic straw), well I am one of those urban people
who love spent time in the beach, but let’s see another option if we spent more
time in alternative tourism.
Look!
Yang kita dapat dari
berjemur di pantai, atau melakukan kegiatan snorkling bahkan diving di taman
bawah laut akan memberikan one side benefit, yaitu pada diri kita sendiri. Perasaan
puas akan hasil foto di pinggir pantai, perasaan senang melihat biota laut di
teluk maumere (I cant denny that Teluk
Maumere is the most beautiful under water ever! Whoa, I am such a proud
citizen! XD), merupakan hal-hal yang cuman kita alami sendiri, tidak akan
memberikan impact apapun terhadap si penduduk pesisir, atau sekitarnya. Kita
juga hanya akan membawa pulang perasaan bahagia dengan semangat yang baru, its
completely one side benefit!
Tapi coba kalau kita
berwisata ke kawasan heritage seperti Gereja Tua Sikka, desa adat watublapi
atau museum Blikon Blewut, atau mungkin juga ke Hutan Manggrove, yang kita
dapat bukan hanya perasaan puas, tetapi juga tambahan wawasan yang berujung
pada self development, bukan hanya itu biaya retribusi masuk yang dikenakan
atau saat kita membeli produk local seperti kain tenun / sarung, atau aksesoris
etnic lainnya yang di jual di kawasan tersebut juga akan membantu peningkatan
ekonomi masyarakat sekitar, mungkin terkesan sepele tapi ini sangat mendukung
segi perekonomian masyarakat local / sekitar kawasan tersebut dan secara tidak
langsung kita juga turut andil dalam promosi budaya ketika kita mengenakan kain
tenun/sarung atau aksesoris etnic lalu mempostingnya di social media kita.
Trust me gengs, liburan kalian berfaedah! Win-win solution, isn’t it? Hohohoho




Well, kita kembali ke
topik utama di mana ekowisata memerlukan keterlibatan masyarakat setempat serta
pemerintah dalam mengelolah dan menjaganya, sayangnya, kekayaan budaya serta
keindahan alam Kabupaten Sikka tidak di dukung dengan fasilitas maupun
aksesbilitas yang memadai. Karena pada dasarnya, ketersediaan
fasilitas juga mempengaruhi ketertarikan wisatawan untuk berkunjung ke suatu
destinasi wisata.
Jadi yah getooh gengs, we need the government and whoever
tourism stake holder to more concern about the problems (facility and
accessibility) so it can gain more tourists.
~cheers, Kee😉💓
x
x
Mantap jiwa..
BalasHapusMaumere memang memiliki banyak potensi pariwisata kendalax adalah kurangx ekspos kluar..
Yuhuu,. Mari kita smua berkontribusi untuk ekowisata di Nian Tanah,. Trimakasih Ibu Kerr, sdh berbagi pengetahuan dan pendapatnya ttg ekowisata di Sikka,. Ini salah satu bentuk kontribusi untuk Nian Tanah Sikka.
BalasHapusTerima kasih untuk komentar positifnya🙏😊
BalasHapus