Rasionalitas Dunia, dan Ruang Ajaib yang Masih Bertahan
Saya sedang berpikir untuk memposting sesuatu yang berkaitan dengan ilmu filsafat dan pariwisata-yang merupakan multi disiplin ilmu-, sebuah ide sederhana karena yah ibu dari segala ilmu adalah filsafat itu sendiri, setelah sekian lama meramu beberapa kata kunci terkait hal ini, sesuatu yang diluar ekpektasi justru muncul melalui melalui riakan ombak, hembusan angin, dan hilir mudik orang-orang yang juga sedang menyaksikan kepulangan sang matahari
“kenapa ciri fisik kami berbeda sementara kami sama-sama orang Flores?”
“kenapa masyarakat Manggarai mayoritas berkulit putih dengan rahang tegas, sementara orang Maumere mayoritas berkulit hitam dengan wajah oval dihiasi rambut keriting”
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap berbagai etnis yang ada di Flores dengan bentuk fisik serta keunikan budaya masing-masing, saya percaya bahwa kita semua Indah. Tetapi apakah indah saja sudah cukup memberikan saya kepuasan? Tentu tidak.
So, here is the thing...
Kita semua tahu, bahwa masyarakat Flores adalah masyarakat heterogen yang terdiri dari beberapa suku, bahasa, sejarah, dan juga pandangan terhadap dunia. Heterogenitas ini bermula dari etnis. Perpaduan antara etnis Melanesia, Melayu dan Portugis, menyebabkan perbedaan fisik maupun budaya di Pulau Flores. Dan disinilah pertanyaan-pertanyaan sederhana saya tadi terjawab. Etnis Melanesia dari bangsa Melanosoid yang tergolong dalam ras Negroid, dimana bentuk fisik mereka adalah berbadan tegap, berkulit gelap dengan rambut keriting. Ketika bangsa Melanosoid ini datang ke tanah Flores, terjadilah benturan budaya antara bangsa Melanosoid dan kebudayaan Paleolitikum (penduduk asli). Benturan budaya inilah melahirkan ciri fisik manusia dengan etnis Melanesia. Sub suku di Flores yang mewarisi etnis melanesia adalah Riung, Nagekeo, Ende, Lio, dan Sikka.
Sementara perbedaan besar dapat dilihat dalam sub suku Manggarai dan Ngada yang mewarisi etnis Melayu. Migrasi kedua yang terjadi di Pulau Flores datang dari Bangsa Proto Melayu sekitar 2000 SM. Bangsa Proto Melayu adalah ras Mongoloid yang berasal dari daerah Yunan yang memiliki ciri-ciri berbadan tinggi ramping, berkulit terang, dan rambut lurus serta detail hidung dan mulut sedang. Sama halnya dengan bangsa melanosoid, bangsa Proto melayu juga mengalami benturan budaya dengan penduduk asli kebudayaan Neolitikum. Keturunan asli bangsa ini adalah Suku Nias, Suku Kubu di Jambi dan sumatra selatan, orang semang di Pedalaman Malaya, suku Dayak di pedalaman Kalimantan, dan suku Toraja di Sulawesi. Tak heran jika kebudayaan orang Manggarai(orang Todo) memiliki beberapa kesamaan ciri maupun tradisi dengan orang Minangkabau.
Berbeda dengan kedua peradaban diatas, sub suku Larantuka memiliki perbedaan tersendiri yaitu mewarisi ciri fisik dari bangsa Portugis, dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor – yang pernah mejadi kolon Portugis- , sehingga interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores Timur.
Tidak hanya perbedaan Etnis dari berbagai peradaban, orang Flores juga memiliki kurang lebih 5 bahasa daerah dari masing-masing suku dengan sub bagian dialek yang berbeda-beda pada setiap suku. Peradaban ini juga terjadi sebelum masuknya bangsa asing yang menyebarkan agama, orang Flores sudah mengenal terlebih dahulu wujud tertinggi sebagai sesuatu yang mereka yakini adalah penguasa atas semesta, yaitu Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan astral dan kosmologis ini bersumber dari pengalaman hidup; Orang Manggarai menyebutnya Mori Kraeng, orang Ngada menyebutnya dengan Deva Zeta-Nitu zale, sementara masyarakat Flores Timur dan Lembata menyebutnya Lero Wulan Tanah Ekan, dan orang Sikka menyebutnya Inang Nian Tana wawa-Ama Lero Reta Wulan, dengan masing-masing suku memiliki tempat pemujaan sendiri sebagai bentuk hubungan antara alam manusia dan alam ilahi.
Flores memang tidak banyak ditemukan alat-alat instrumen musik, selain Gendang dan Gong tetapi rasa musikal orang Flores tergolong cukup istimewa, sehingga brand baru yang kini melekat pada Pulau Flores adalah Flores The Singing Island.
Max Weber ever said :
"Of musical i'nstruments I did not see mu'ch, although, as a matter of fact, the population of Flores seemed to me to be more musically talented than the kindred, Indonesian tribes whose acquaintance I made in sumatra, java and celebes, where I heard any -tolerable voices sing agreeable melodies. It was dffirent in Flores. Many a sonorous male voice, rendering simple songs at the river bank, still sounds in my ears; melodies which-might well please the European ear, too."
Jadi begitulah kira - kira tentang beberapa hal terkait di Pulau Flores dan jawaban atas pertanyaan saya tadi. Speaking of the first question, sadar atau tidak tulisan ini merupakan tulisan kolaborasi antara Filsafat dan Pariwisata.. how come?
Pariwisata itu multi disiplin ilmu, ketika kamu mempelajari budaya, bahasa, sejarah, geografi, antropologi, lingkungan maupun agama sekalipun saat itulah kamu sedang mempelajari ilmu pariwisata. Lalu hubungannya dengan filsafat dimana?
Oh come on, tanyakan pada Sang legenda Bapak Socrates, kenapa berfilsafat dengan memulai sebuah pertanyaan..
Kalau kamu yang sedang membaca ini adalah orang Flores, saya harap dengan membaca tulisan ini kamu semakin diperkaya dan bangga akan ke-Floresan mu, sementara untuk yang lain, semoga tidak ada lagi pertanyaan serupa atau pemahaman dangkal terkait stereotype orang timur berkulit gelap.
~cheers
Keeš„°
Tetap semangat berkarya melalui tulisan...
BalasHapusKalo boleh kasih saran...
Mungkin bisa di cantumkan sumbernya...
Agar pembaca tidak berpikiran bahwa tulisan kita adalah imajinasi semata...
Thanks
Terima kasih sarannya. Noted!
BalasHapus